Senin, 10 Januari 2022

Pikiran Orang yang Kesulitan dalam Bermasyarakat

Seorang tetangga meninggal. Aku tak ikut sholat jenazah maupun menguburkan. Setahun yang lalu, istrinya meninggal. Aku sempat ikut takziah. Sekarang mereka berdua sudah di alam yang lain, meninggalkan tugas orang anak yang sudah dewasa. Anak yang paling kecil, tahun ini akan wisuda S1. Dia dan dia kakak perempuannya belum ada yang sudah menikah. Latar belakang ekonomi mereka adalah keluarga yang kaya. Walaupun begitu, kehilangan orangtuanya adalah hal yang berat juga. Apalagi disini, mereka tidak punya kerabat dan saudara. Ada keluarga yang lebih menderita sih daripada mereka. Enam anak di sebelah timur rumah, kehilangan orangtuanya hanya dalam satu bulan.

Tulisan ini akan mempermasalahkan kenapa aku tidak ikut takziah. Aku... Mengantuk dan malas. Ternyata, jiwa bermasyarakat dalam diriku tak mampu mendorongku untuk ikut takziah. Begitu pula ajaran agama yang kutahu, tak mampu mendorongku untuk takziah. Rasa kasih dan sayang pun tak membuatku tergerak ikut takziah. Sebegitu lemahnya kah jiwa bermasyarakat, rasa kasih, nilai-nilai kemanusiaan, dan ajaran agama dalam diriku? Mengapa semua elemen ini tak mampu membuatku berbuat baik pada orang yang dekat dengan ku secara fisik dan pada momen yang selalu seumur hidup? Kenapa justru aku bisa berangkat kerja habis ini dan berkorban untuk lembaga (rencana)? Sebentar, aku nggak sejahat itu. Tak aku juga sudah mendoakan almarhum setelah subuh dan di beberapa momen ketika aku mengingat beliau.
اللهم اغفر له وارحمه وعافه واعف عنه وصلى الله وعلى سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين والحمد لله رب العالمين.آمين

Saya rasa mental saya kecapekan, atau saya sudah menggunakan self control terlalu banyak dan sekarang kelelahan, atau ada faktor traumatis yang membuat blocking emosi pada pikiranku sehingga aku tidak berangkat takziah (malu dikomentari orang, tidak enak berdiri sendirian, dan merasa aneh karena aku memang orang aneh). 

Sebelum menulis blog, aku beranjak dari kasur, ambil air wudhu, ambil peci, dan berjalan keluar rumah. Kemudian aku menengok jalan didepan rumah duka yang sepi manusia tapi banyak motor. Lalu aku masuk ke rumah dan ibu bilang jenazah mungkin sudah dikubur, karena beberapa orang sudah pulang. Akhirnya aku tidak lanjut berjalan keluar.

Kalau menganalisis usahaku barusan jam 07.20, maka rasanya saya memang kecapean mental. Tapi apakah mungkin ini hanya kemalasan? Bukankah aku sudah tahu jenasah dimandikan jam 06.20. kemudian aku menunda, ah mungkin sebentar lagi, dan memilih naik ke tempat tidur. Setelah tadinya, aku buka hp dan lihat trading selama satu jam.

Apakah secapek itu trading (tidak sih). Aku curiga dengan beban mental karena terusik dosen yang toxic dan kekecewaan dengan kuliah S2 yang ku anggap buang-buang waktu, pikiran, dan energi. Efeknya jelek sih. Aku jadi tidak beneran kerja sebagai penjaga perpustakaan, aku tidak mengerjakan tulisan jurnal yang dibebankan padaku, dan aku tidak bisa berinovasi di pekerjaanku.

Eh ternyata, prosesi penguburan baru selesai. Jadi, tadi ibu salah memberi informasi. Betapa sering ibu begini (berbicara tanpa mengerti dan menggunakan jasa tinggi yang menggangu telinga).

Ah sudahlah. Saya sholat ghaib saja. Entah apa yang bisa diambil hikmahnya dari tulisan ini:
- blocking emosi itu punya daya yang kuat mengalahkan kemanusiaan, kemasyarakatan, dan keberagaman
- fakta yang bisa dibuktikan langsung, jangan dianalisa
- tuhan masih memberi cara lain ibadah untuk orang bermental lemah
- jangan jadi orang yang menghambat ibadah orang lain atau apapun yang bisa bernilai ibadah
- jangan jadi orang toxic

اللهم انفعنا بما علمتنا وعلمنا ما ينفعنا وارزقنا علما نافعا
وصلى الله على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين
والحمد لله رب العالمين.
آمين





Previous Post
Next Post

Hai, nama saya Maulanida ^_^ Sudah, gitu aja :D Peace Assalamu alaikum

0 comments: